NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
I.
Pendahuluan
Sekarang ini banyak kita jumpai pasangan
yang lebih memilih untuk melakukan nikah sirri/nikah dibawah tangan terutama
untuk kalangan kelas menengah ke bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan
pengetahuan mengenai hukum, akibat yang akan ditimbulkan, serta masalah biaya.
Sedangkan untuk kalangan menengah ke atas mendalihkan takut akan dosa dan zina
dan alasan lainnya. Contohnya yang sering kita lihat di televise, banyak
diantara artis-artis ibu kota yang melakukan nikah sirri dan ketika pernikahan
itu terjadi maka dari pihak perempuan (istri) tidak bisa berbuat apa-apa karena
pernikahan itu illegal (tidak tercatat oleh hokum negra), sehinga dalam hal ini
pihak perempuanlah yang paling dirugikan.
Berkenaan dengan nikah sirri , dalam RUU
yang baru sampai di maja setneg, pernikahan sirri di anggap perbuatan illegal,
sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sangsi penjara maksimal 3bulan dan
denda 5juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang
mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah sirri, poligami, maupun nikah
kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya
masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun
penjara. Pegawai kantor urusan agama yangf menikahkan mempelai tanpa syarat
lengkap juga di ancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.[1]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa
orang yang melakukan pernikahan sirri, maka suami istri tersebut tidak memiliki
hubungan pewarisan, artinya jika suami meninggal dunia, maka istri atau
anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya.
Ketentuan ini juga berlaku jika istri yang meninggal dunia.
Lalu bagaimana pandangan islam terhadap
nikah sirri??, bolehkah orang yang melakukan nikah sirri di pidanakan??,
Benarkah orang yang melakukan pernikahan sirri tidak memiliki hubuntgan
pewarisan?
II.
Nikah
Sirri: Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Sirri
Nikah
sirri tidak hanya dikenal pada zaman sekarang ini saja, tetapi juga telah ada
pada zaman sahabat. Istilah itu berasal dari ucapan Umar Bin Khatab, pada saat
beliau diberitahu bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak di hadiri oleh saksi,
kecuali hanya seorang laki-laki dan seorang perempuan. Beliau berkata:
“Ini
nikah sirri, saya tidak membolehkannya dan sekiranya saya tahu lebih dahulu,
maka pasti akan saya rajam”.
Seharusnya pernikahan itu dihadiri oleh
dua orang saksi laki-laki, sebagai rukun nikah. Hal ini berarti rukun nikah itu
belum sempurna. Kemudian setelah kita memperhatikan ucapan uamr bin khattab
“pasti saya rajam”. Maka seolah-olah perbuatan itu sama dengan perbuatan zina,
bila kedua suami istri bercampur.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i
berpendapat, bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika terjadi harus di fasakh
(dibatalkan) oleh pengadilan agama.
Pendapat di atas diperkuat oleh hadist
Rasulullah:
“Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas: sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “pelacur adalah wanita yang
mengawinkan dirinya tanpa tanda bukti”.(HR. Tirmidzi).
Ibnu Abbas juga menegaskan:
“Nikah
ini tidak sah tanpa ada bukti”.[2]
Isyilah nikah sirri
sudah dikenal dikalangan para ulama, hanya saja nikah sirri yang dikenal pada
masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada saat ini. Dahulu yang
dimaksud nikah sirri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan
syaratnya menurut syariat, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan
terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, masyarakat dan dengan
sendirinya tidak ada Walimatul Ursy. Adapun nikah sirri yang dikena; oleh
masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh
wali/wakil wali dan disaksikan oleh para saksi tetapi tidak dilakukan dihadapan
petugas pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di
kantor urusan agama (KUA) bagi yang islam, atau dikantor catatan sipil bagi
yang tidak beragama islam.[3]
Selain itu pernikahan
sirri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan: pertama: pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan
secara rahasia (sirri) dikarenakan pihak wali pihak perempuan tidak setuju atau
hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat. Kedua;
Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan Negara. Banyak kantor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan
pernikahan dilembaga pencatatan sipil Negara. Ada yang karena factor biaya,
alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, da pula yang disebabkan
karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih
dari satu, dan lain sebagainya. Ketiga;
Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya
karena takut mendapat stigma negative dari masyarakat yang terlanjur menganggap
tabu pernikahan sirri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Ada beberapa alasan
mengapa seseorang melakukan nikah sirri, di antaranya adlah:
1)
Mempelai laki-laki masih terikat
perkawinan
2)
Mempelai laki-laki tidak memiliki
identitas diri yang jelas umumnya karena pendatang/orang asing
3)
Mempelai perempuan tidak mendapat restu
dari orang tua/wali
4)
Mempelai laki-laki dan ada juga
perempuan hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual, bukan untuk tujuan
membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah.
5)
Mempelai laki-laki kawin dengan
perempuan dibawah umur/anak-anak (pedofili)
6)
Untuk tujuan trafficking[4]
III.
Hukum
Nikah Sirri
Setelah
membaca keterangan di atas, dapat dipahami bahwa nikah sirri itu dapat di
artikan pernikahan tanpa wali/syaratnya tidak terpenuhi dan pernikahan yang sah
secara agama tetapi tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara. Adapun
hokum syariat atas kedua fakta tersebut adalah sebagai berikut:
Mengenai
fakta yang pertama, yakni pernikahan tanpa wali. Sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan seperti ini didasarkan
pada sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R
yang lima kecuali Imam An Nasa’i).
Berdasarkan
dalalah al-iqtidla’ kata “Laa” pada hadits menunjukkan pengertian “tidak sah”,
bukan sekedar “tidak sempurna” sebagaimana pendapat sebagian ahli fiqih. Makna
semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadist yang diriwayatkan oleh arsyah
ra, bahwasannya Rasulullah SAW pernah bersabda”
“Barang
siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka
pernikahannya batal, pernikahannya batal, pernikahannya batal” ( H.R yang lima
kecuali Imam An Nasa’i)
Abu
Hurairah ra juga meriwayatkan sebuah hadist, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda:
“Janganlah
perempuan menikahkan perempuan yang kain dan jangan pula seorang perempuan
menikahkan dirinya sendiri” (H.R Ibnu Majjah dan Daruqutni)[5]
Berdasarkan
hadist-hadist di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahannya batil, pelakunya berarti telah melakukan maksiat kepada Allah SWT
dan berhak mendapatlan sanksi di dunia. Hanya saja syariat belum menetapkan
bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa
wali.
Sedangkan
fakta pernikahan sirri yang kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan
syariat namun tidak di catatkan pada lembaga pencatatan sipil. Dilihat dari
aspek pernikahannya nikah sirri tetap sah menurut ketentuan syariat dan
pelakunya tidak boleh di anggap melakukan tindakan kemaksiatan. Oleh karena itu
pernikahan yang tidak dicatatkan dilembaga pencatatan Negara tidak boleh di
anggap sebagai tindakan criminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa,
karena pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah SWT walaupun tidak di catatkan dalam pencatatan sipil.
Tetapi
berkaitan dengan pencatatan pernikahan dilembaga pencatatan Negara ini sangat
penting karena sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus
berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi dan salah satu
bentuk pembaruan hukum kekeluargaan islam adalah dimuatnya pencatatan
perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.
Sebagaimana yang di atur dalam kompilasi hukum islam (KHI) pada pasal 5 ayat 1
maupun di dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:
“tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[6]
Selain
dengan hal ini Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B
çnqç7çFò2$$sù
4
=çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/
7=Ï?$2
ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x.
br& |=çFõ3t
$yJ2 çmyJ¯=tã ª!$#
4
ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$#
Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u
...........
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaknya seorang
penulis di antara kamu menuliskan dengan benar. Dan janganlah penulis menolak
untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajakan kepadanya, maka hendaklah
dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan dan
hendaklah dia bertaqwa kepada Allah Tuhannya………..” (Q.S. Al-Baqarah:282)
Tafsir:
Perintah
ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman tetapi yang
dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang piutang, bahkan secara
lebih khusus adalah berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih
tenang dengan penulisan itu. Karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan
yang sangat di anjurkan. Selanjutnya kepada para penulis di ingatkan, agar
janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur , sebab Allah telah
mengajarkannya maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan
tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Walaupun pesan
ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran tetapi ia menjadi wajib jika
tidak ada selainnya yang mampu, dan pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan
akan terabaikan.[7]
Berdasarkan
terjemahan di atas, memang para ulama dahulu tidak ada yang menjadikan dasar
pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya. Namun bila
diperhatiakn perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya
mempunyai kemaslahatan yang sangat banyak. Karena apabila terjadi sengketa yang
berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya dapat
ditangani oleh pengadilan agama.
IV.
Penutup
Kesimpulan
Nikah sirri disebut
juga denagn nikah rahasia. Nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia
sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali/wakil wali dan
disaksikan oleh para saksi tetapi tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat
nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di kantor urusan
agama (KUA) bagi yang islam, atau dikantor catatan sipil bagi yang tidak
beragama islam. Nikah sirri itu dapat berbentuk:
1.
Rukun dan syaratnya tidak sempurna
2.
Rukun dan syaratnya sudah terpenuhi,
tetapi tidak tercatat pada kantor urusan agama.
Dari
sudut pandang fiqih, pernikahan ini dipandang sah. Tetapi apabila terjadi
perselisihan, tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan agama. Dengan
demikian, mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya.
Jadi
hukum nikah sirri adalah boleh dalam hal tertentu, tetapi lebih baiknya di
tinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. ali. “Pedoman Hidup
Berumah Tangga dalam Islam”. Jakarta: Siraja, 2006
Rasyid, Sulaiman. “Fiqih Islam”.
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1998
Nurudin, Amiur. “Hukum Perdata
Islam di Indonesia”. Jakarta: Prenada Media, 2004
Shihab, M. Quraish. “Tafsir
Almisbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002
[1] Di
unduh pada tanggal 11/04/2010 dari http://pakarbisnisonline.blogspot.com/
[2] M.
Ali Hasan. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam(Jakarta: Siraja,2006) cet ke2.
Hal. 295-297
[3] Di
unduh pada tanggal 11/04/2010 dari
http://www.irmadevita.com/2009/akibat-hukum-nikah-sirri
[4] Di
unduh pada tanggal 13/04/2010 dari http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php
[5] H.
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1998), halm.383
[6]
Dr. H. Amiur Naruddin , MA, hukum
perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004) halm. 121-123
[7] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah:pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati,2002) jilid,cet ke1, halm. 563-565