Welcome to my life...

IMAM TAUFIQ
Pekalongan,2 Januari ....

 

BERITA ONLINE

MEROKOK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


A.          Pendahuluan
Fatwa haram merokok yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam ijma’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III, yang berlangsung di Padang Panjang Sumatera Barat pada tanggal 23-26 Januari 2009, telah memunculkan realsi yang beragam dari masyarakat. Disatu sisi ada yang setuju, namun disisi lain banyak juga yang menolak.
Bukan tanpa alasan mengeluarkan fatwa ini. Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa rokok memang memiliki dampak negatif yang cukup besar, tidak hanya bagi perokok aktif tapi juga bagi perokok pasif. Dampak yang lebih besar justru dialami oleh perokok pasif karena kepulan asap rokok mengandung dua kali lipat racun dari rokok yang dihisap sendiri. Dan dampak buruk ini menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit yang mematikan. Berdasarkan penelitian KPAI angka kematian yang diakibatkan oleh rokok adalah 427.923 jiwa/tahun. Tentu saja angka ini akan bertambah selama kebiasaan merokok tidak segera ditekan.
Rokok memang merupakan salah satu fenomena sosial yang cukup unik. Meski sudah tahu bahwa rokok mengancam kesehatan tapi tetap saja rokok mendapat dukungan yang besar terutama dari kalangan perokok sendiri. Para perokok bukan tidak tahu dampak dari merokok bahkan seharusnya mereka yang paling tahu karena pada setiap bungkus telah tertulis dengan jelas dampak merokok. Jika demikian bukankah berarti merokok sama dengan bunuh diri?
Para perokok berargumen bahwa merokok dapat merangsang imajinasi kreatif, ada pula yang mengatakan merokok dapat menenangkan. Meski tidak sedikit yang mengatakan bahwa merokok merupakan perbuatan yang sia-sia.
Fatwa haram merokok yang dikeluarkan MUI bukan hal yang baru pertama kali muncul. Larangan merokok juga pernah diatur oleh pemerintah DKI Jakarta dalam PP. No. 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang kemudian diubah menjadi PP. No. 19/2003 tentang Kawasan Tanpa Rokok, yang disertai dengan hukuman bagi yang melanggarnya berupa kurungan selama enam bulan ditambah denda sebesar 50 juta (Suara Merdeka, 02/02/2006).
Bukan hanya di Indonesia, di negara-negara lain juga pernah melakukan hal yang sama. Di India pada bulan November 2001 pernah mengeluarkan keputusan tentang larangan merokok ditempat-tempat umum serta pembatasan iklan sponsao dari perusahaan rokok. Semenjak dikeluarkan peraturan tersebut konsumsi rokok di India mengalami penurunan dari 97 juta pada tahun 2000 menjadi hanya 92 juta pada tahun berikutnya.
Pada tahun 2006, pemerintah Inggris mengelaurkan UU tentang larangan merokok ditempat kerja yang meliputi kantor, pabrik, toko, pub, alat transportasi umum, dam lain sebagainya. UU ini baru direalisasikan pada 1 Juli 2007 dan cukup berhasil untuk menekan jumlah angka perokok. Hal ini dibuktikan dengan adanya kkurang lebih 600.000 orang penduduk Inggris berhenti merokok (Kompas, 30/05/07).
Di Cina larangan merokok disebagian besar fasilitas umum dikeluarkan menjelang Olimpiade yaitu pada Juli 2008. Di Skotlandia angka pengidap serangan jantung turun hingga 17 persen dalam setahun pada 2006 setelah diberlakukan larangan merokok ditempat umum.
Mengapa kemudian peraturan yang telah dikeluarkan negara lain membuahkan hasil, sementara di Indonesia tidak? Memang perlu dipertanyakan, ditambah lagi yang mengeluarkan fatwa adalah MUI yang katanya hanya mewakili satu agama saja padahal Indonesia adalah negara yang majemuk. Sudah seharusnya peraturan ini menjadi urusan pemerintah yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih kuat.
B.           Sejarah Rokok
Tidak ada yang menyebutkan sejarah rokok secara pasti, salah satu versi mengatakan bahwa rokok pertama kali ditemukan di Amerika. Setelah Amerika merdeka maka banyak bangsa Eropa yang berkunjung. Tujuan semula untuk melihat perkembangan masyarakat Amerika, juga untuk mengenal gaya hidup masyarakat Amerika. Keunikan gaya hidup masyarakat Amerika tampaknya mengundang simpatik yang begitu besar bagi pengunjung dari Eropa tersebut, termasuk dalam hal merokok.[1] Hingga akhirnya lambat laun bangsa-bangsa Eropa mulai mengadopsinya. Maka setelah mereka kembali kenegara masing-masing mereka membawa bibit-bibit tembakau. Eksportir bibit-bibit tembakau kedaratan Eropa mulai berlangsung pada tahun 1518 M/935 H. Dan mulai rame memasuki tahun 1560 M/977 H.
Ir. M. Romli, salah seorang auditor LPPOM MUI menyatakan, bahwa budaya merokok termasuk gejala yang relatif baru di dunia Islam. Yaitu, tak lama setelah Christopher Columbus dan penjelajah-penjelajah Spanyol lainya mendapati kebiasaan bangsa Aztec ini pada 1500. Rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan daerah Mediterania. Dunia Islam, pada saat itu berada dibawah kekhalifahan Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.[2]
Pada abad ke-17 sampai dengan sekitar abad ke-18, merokok masih menggunakan pipa. Kemudian bergeser menjadi cerutu pada pertengahan abad ke-19. Baru pada akhir abad 19 rokok berubah menjadi cigaret seperti sekarang ini. Mulai abad ke-19 ini penikmat rokok tidak hanya dari kalangan laki-laki tapi juga dari kalangan wanita. Awalnya merokok bagi kaum wanita hanyalah bentuk atau simbol perlawanan kepada kaum pria. Wanita yang pertama kali melakukan perlawannan rokok tersebut adalah George Sand dan Lola Montez, salah seorang tokoh gerakan emansipasi wanita di Jerman pada waktu itu. Ia beserta teman-temannya menginginkan adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam merokok. Sejak saat itu perempuan diperbolehkan merokok hingga sekarang. [3]
Dari tahun ke tahun industri rokok mengalamu perkembangan disusul dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan rokok. Tidak terkecuali di Indonesia, pada tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok mencapai 2,9 triliun, tahun 1996 meningkat lagi menjadi 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi 4,792 triliun dan tahun 1998 melonjak lagi menjadi 7,391 triliun (Bambang Sumarno).
C.          Hukum Merokok
Jika berbicara mengenai hukum merokok maka akan banyak pendapat yang bermunculan. Bahkan diantara para ulama sendiripun mengalami perbedaan pendapat.
Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum merokok, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:
Al-Qur’an :

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik
. (Al-Baqarah: 195)
As-Sunnah :


Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)
Bertolak dari dua nash di atas, ulama’ sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini terdapat persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Pendapat ulama tentang hukum merokok
a.      KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Pertama; sebagian besar ulama’ terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama’ terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.
Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.
Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada ‘illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.[4]
b.      Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta i’tibar (logika) yang benar.
Dalil dari Al-Qur’an adalah firmanNya.
“Artinya : Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah : 195]

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat kemudharatan.
Adapun dalil dari i’tibar (logika) yang benar, yang menunjukkan keharaman merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan mereka. Karenanya, anda akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka dan berinteraksi dengan mereka.[5]
c.       Pendapat yang membolehkan merokok
1. Allah swt. dan Rasul-Nya saw. tidak pernah menegaskan bahwa tembakau atau rokok itu haram.
2. Hukum asal setiap sesuatu adalah halal kecuali ada nash yang dengan tegas mengharamkan.
3. Boros adalah: menggunakan sesuatu tanpa membutuhkannya, dari itu jika seseorang merokok dalam keadaan membutuhkannya maka ia tidaklah pemboros karena rokok ternyata kebutuhan sehari-harinya juga.
4. Rokok adalah bagian dari makanan atau minuman sebab ia dikonsumsi melalui mulut, maka ia halal selama tidak berlebihan, Allah berfirman : “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan” dan Allah telah menyebutkan makanan-makanan dan minuman-minuman yang haram seperti arak, babi, dll. dan ternyata Allah tidak menyebut rokok di antaranya.
5. Realita menunjukkan bahwa rokok ternyata memberi banyak manfaat terutama dalam menghasilkan uang, di pulau Lombok misalnya, hanya tembakaulah yang membuat para penduduknya dapat makan, jika rokok diharamkan maka mayoritas penduduk Lombok tidak tahan hidup. Di sebagian daerah Kendal, Temanggung, Jember. Sebagian hasil pertaniannya adalah tembakau. Allah berfirman: “Katakanlah hai Muhammad: Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”
6. Terdapat banyak cara untuk mengurangi dan mencegah bahaya-bahaya rokok.
7. Qiyas kepada khamr tidak benar karena rokok tidak memabukkan dan tidak menghilangkan akal, justru seringnya melancarkan daya berfikir. Dan yang paling penting adalah haramnya khamr karena ada nash, dan tidak haramnya rokok karena tidak ada nash. Kemudian qiyas tidak boleh digunakan dengan sembarangan.
8. Adapun ayat “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” maksudnya adalah bunuh diri, maka adakah orang yang sengaja membunuh dirinya dengan menghisap rokok? kalaupun ada jenis rokok yang sengaja dibuat untuk bunuh diri maka tetap yang haram bukan rokoknya akan tetapi yang haram adalah bunuh dirinya. Sebagaimana seseorang membunuh dirinya dengan pisau, maka yang haram bukan menggunakan pisaunya tetapi bunuh dirinya.
9. Banyak ulama’ dan auliya’ yang juga perokok bahkan perokok berat, apakah kita menyamakan mereka dengan para bajingan yang minum arak di pinggir jalan? Allah berfirman: “Apakah patut Kami jadikan orang-orang islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa? Mengapa kamu berbuat demikian? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”, Allah juga berfirman: “Apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasik? Sesungguhnya mereka tidak sama”, Allah juga berfirman: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”.
10. Banyak ulama’ yang tidak mengharamkan rokok seperti : Syekh Syehristani, Syekh Yasin al-Fadani, Syekh al-Sistani, Syekh Muhammad al-Salami, Syekh al-Dajawi, Syekh Alawi al-Saqqaf, Syekh Muhammad bin Isma’il, Syekh al-Ziadi, Syekh Mur’i al-Hanbali, Syekh Abbas al-Maliki, Syekh Izzuddin al-Qasysyar, Syekh Umar al-Mahresi, Syekh Muhammad Alawi al-Maliki, Syekh Hasan al-Syennawi, Syekh Ahmad bin Abdul-Aziz al-Maghribi, Syekh Abdul-Ghani al-Nabulsi ra., Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani ra., Maulana Syekh Mukhtar ra., dll.[6]
Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.[7]
‘Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) menyatakan bahwa:
Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.
Dari serangkaian hukum merokok yang telah dipaparkan diatas mulai dari nash Al-Qur’an, hadits hingga pendapat para ulama maka kesimpulan yang penulis dapat adalah bahwa hukum merokok pada dasarnya adalah makruh, yaitu sesuatu yang boleh dilakukan namun lebih baik untuk dihindarkan. Apapun hukum merokok menurut ulama, jangan sampai hal ini memicu pertikaian antara sesama umat Islam. Karena para ulama tersebut mempunyai dasar sendiri yang mereka yakini kebenarannya.
D.          Penutup
Berdasarkan uraian diatas terdapat hal-hal yang dapat kami garis bawahi terkait hukum merokok. Merokok yang pada dasarnya sekarang ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar warga Indonesia menjadikan merokok tidak bisa dengan serta merta untuk dihentikan meski sudah terbukti begitu banyak dampak negatif yang ditimbulkan.
Upaya untuk mengurangi dampak negatif ini sudah dilakukan oleh negara dengan mengeluarkan UU tentang larangan merokok ditempat umum. Meski telah menjadi Undang-undang namun dalam pelaksanaannya tidak efektif. Hingga akhirnya MUI mengeluarkan fatwa ”haram merokok”. Menurut kami, apa yang dilakukan oleh MUI merupakan upaya untuk perbaikan hanya saja cara yang digunakan terlalu berlebihan dengan mengatakan ”haram” terhadap merokok. Mungkin akan lebih efektif jika saja pemerintah yang turun tangan yaitu dengan mengaktifkan kembali UU yang telah terbengkalai. Karena bagaimanapun tetap saja rokok membawa dampat negatif karena itu harus diminimalisir. Wallahu’alam bish showab



DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Muhammad. 2009. Kitab Rokok: Nikmat dan Mudhorot yang Menghalalkan atau yang Mengharakam.Yogyakarta:Kutub.
http://mutiarahadis.co.cc/?p=215


[1] Muhammad Yunus BS. Kitab Rokok: Nikmat dan Mudhorot yang Menghalalkan atau yang Mengharakam (Yogyakarta:Kutub, 2009) h. 13
[2] Ibid.h. 14
[3] Ibid.h. 17
[4] www.nu.or.id
[6] http://mutiarahadis.co.cc/?p=215
 
ilmu kita © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by INDEX TUTORIAL KUMPULAN TUTORIAL

Bocah Ndeso Corporation